Jumat, 28 September 2007
Jumat, 21 September 2007
SEJARAH SINGKAT KALIMANTAN TENGAH
Semula, daerah Kalimantan Tengah terdiri dari tiga Kabupaten Otonom berasal dari eks Daerah Dayak Besar dan Swapraja Kotawaringin yang termasuk dalam wilayah Keresidenan Kalimantan Selatan. Ketiga Kabupaten otonom itu adalah Kabupaten Barito, Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Kotawaringin. Ketiga daerah kabupaten otonom ini merupakan daerah daerah bawahan yang dibentuk berdasarkan hak-hak darurat yang dilakukan oleh Gubernur Kalimantan waktu itu, dengan Surat Keputusan nomor 186/OPB/92/14 tanggal 14 Agustus 1950 tentang pembentukan daerah otonom tingkat Kabupaten dan Kota. Surat keputusan ini kemudian dikukuhkan dengan undang-undang Darurat Nonaor 3 Tahun 1953. Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 kemudian dijadikan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959 Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 72 dan mulai berlaku serta disyahkan pada 26 Juni 1959.
Pemekaran daerah otonom Kabupaten dan Kota terjadi dalam masa propinsi Kalimantan Tengah menjadi daerah otonom. Kabupaten Barito dimekarkan menjadi Kabupaten Barito Utara dan Barito Selatan, sedangkan Kabupaten Kotawaringin dimekarkan menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kotawaringin Timur. Sementara itu, daerah otonom kota diberikan kepada Palangka Raya sebagai ibukota Propinsi Kalimantan Tengah.
Propinsi Otonom Kalimantan Tengah dibentuk berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957, Lembaran Negara Nomor 53 Tahun 1957 Tambahan Lembaran Negara Nomor 1284 yang berlaku mulai tanggal 23 Mei 1957. Undang undang ini kemudian disyahkan dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1958 Lembaran Negara Nomor 62 sekaligus pula menetapkan ibukota Propinsi Kalimantan Tengah bernama Palangka Raya. Peresmian pemancangan tiang pertama pembangunan kota Palangka Raya dilakukan oleh Presiden RI Pertama Ir. Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957.
Sejak tahun 2002 lalu, dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2002, telah berlangsung pemekaran wilayah, ditambah 8 (delapan) Kabupaten baru, sehingga jumlahnya saat ini menjadi 13 Kabupaten dan satu Kota. Kabupaten kabupaten pemekaran itu ialah:
-
Kabupaten Murung Raya dengan ibukotanya Puruk Cahu.,
-
Kabupaten Barito Timur dengan ibukotanya Tamiyang Layang,
-
Kabupaten Pulang Pisau ibukotanya Pulang Pisau,
-
Kabupaten Gunung Mas ibukotanya Kuala Kurun,
-
Kabupaten Katingan ibukotanya Kasongan,
-
Kabupaten Seruyan ibukotanya Kuala Pembuang,
-
Kabupaten Sukamara ibukotanya Sukamara;
-
Kabupaten Lamandau ibukotanya Nanga Bulik.
KEDAAN UMUM WILAYAH
Propinsi Kalimantan Tengah secara geografis terletak di daerah khatulistiwa, yaitu 0°45 LU, 3°30 LS, 111 ° BT dan 116° BT.
Luas Wilayah
Luas wilayah 157.983 Km2 mencakup 13 kabupaten dan 1 kota dengan 85 kecamatan terdiri dari 1.340 desa dan 101 keluarahan. Jumlah Kecamatan akan meingkat seiring dengan pemekaran Kabupaten tersebut.
Sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Kaliantan Timur dan Kalimantan Selatan,
Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Barat,
Sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur,
Sebelah Selatan dengan Laut Jawa.
Wilayah Kalimantan Tengah terdiri atas daerah pantai dan rawa-rawa dengan ketinggian 0 - 50 m dari permukaan laut dan kemiringan 0% - 8%, daerah perbukitan dengan ketinggian 50 - 100 m dan ketinggian rata-rata 25%. Daerah pantai dan rawa terdapat di wilayah bagian Selatan, sedangkan dataran dan perbukitan berada di wilayah bagian Tengah dan pegunungan berada di bagian Utara dan Barat Daya.
Iklim
Karateristik iklim di Kalimantan Tengah adalah Type iklim : tropis lembab dan panas. Klasifikasi Koppen : Afa
Suhu udara rata-rata 29° C, maksimum 33 ° C. Curah hujan rata-rata tahunan : 2.732 mm dengan rata-rata hari hujan 120 hari. Klasifikasi curah hujan Schmidt dan Farguson : Type - A (Q=14,3%) dan Type B (Q=33,3%), makin ke Utara curah hujan semakin tinggi.
Hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah dialiri oleh sungai besar dan kecil yang
mengalir dari Utara ke Selatan dengan bermuara di Laut Jawa. Dengan hidrologi sedemikian, dapat dikembangkan untuk berbagai keperluan. Terdapat 11 buah sungai besar yaitu;
1. Sungai Barito ....................................................... 900 Km
2. Sungai Kapuas ...................................................... 600 Km
3. Sungai Kahayan .................................................... 600 Km
4. Sungai Sebangau ................................................... 200 Km
5. Sungai Katingan .................................................... 650 Km
6. Sungai Mentaya ..................................................... 400 Km
7. Sungai Seruyan ...................................................... 350 Km
8. Sungai Kumai ......................................................... 175 Km
9. Sungai Arut ............................................................ 250 Km
10. Sungai Lamandau ................................................... 300 Km
11. Sungai Jelai ............................................................ 200 Km
Penduduk
Jumlah penduduk pada tahun 2002 berjumlah 1.874.900 jiwa dengan perbandingan 49% perempuan dan 51% laki-laki. Perbandingan luas wilayah dengan jumlah penduduk menunjukkan bahwa tingkat kepadatan penduduk Propinsi Kalimantan Tengah tergolong kurang padat yaitu 12 jiwa/Km'. Bila diamati menurut Kabupaten dan Kota terdapat perbedaan kepadatan penduduk yang cukup berarti, dimana Kota Palangka Raya sebagai ibukota propinsi Kalimantan Tengah merupakan kota dengan kepadatan paling tinggi 71,50 jiwa/KM2, sedangkan Kabupaten Barito Utara merupakan Kabupaten dengan kepadatan penduduk paling rendah yaitu 6,30 jiwa/KM2.
Visi, Misi dan Strategi Pemerintahan
Titik berat dan skala prioritas rencana pemerintah daerah untuk lima tahun mendatang diletakkan pada upaya untuk menciptakan landasan yang kuat dan kemampuan untuk meraih peluang dan mengatasi tantangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan globalisasi ekonomi. Hal ini dapat dilakukan dengan seoptimal mungkin mengelola dan mengembangkan sektor perikanan dan kelautan, sektor perkebunan dan kehutanan, industri dan perdagangan, pertambangan dan sektor pariwisata (sebagai salah satu sektor unggulan Propinsi Kalimantan Tengah) yang di dukung oleh pengembangan kualitas SDM secara memadai.
Pengembangan sektor unggulan ini diharapkan akan lebih banyak menciptakan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan daerah yang akan dapat digunakan untuk perbaikan dan peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan publik bagi seluruh lapisan masyarakat.
Busana Tradisional Dayak Ngaju
Mengalirnya waktu dan berbaurnya pelbagai budaya menyebabkan perkembangan estetika masyarakat Dayak Ngaju yang semakin bergeser dari nilai-nilai asalnya meski tak menghilangkan substansinya. Hal itu nyata terlihat dengan berkembangnya seni berbusana masyarakat asli Pulau Kalimantan ini. Awalnya kulit kayu, lalu tenunan serat alam yang "kasar", kemudian kain tenun halus, kemudian desain yang tak lagi sekadar fungsional, semua itu adalah fenomena yang menyiratkan bergesernya nilai-nilai tata cara berbusana dan seni berdandan masyarakat Dayak Ngaju.
Beratus tahun lalu masyarakat Dayak membuat busana dengan bahan dasar kulit kayu yang disebut kulit nyamu. Kulit kayu dari pohon keras itu ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga menjadi lemas seperti kain. Setelah dianggap halus "kain" itu dipotong untuk dibuat baju dan celana.
Model busananya sangatlah sederhana dan semata fungsional. Bajunya berupa rompi unisex tanpa hiasan apapun. Rompi sederhana ini dalam bahasa Ngaju disebut sangkarut. Celananya adalah cawat yang, ketika dikenakan, bagian depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang, yang disebut ewah. Busana itu berwarna coklat muda, warna asli kayu, tak diberi hiasan, tak pula diwarnai, sehingga kesannya sangat alamiah.
Akan tetapi naluri berdandan, yang konon telah bangkit pada hati setiap manusia sejak ribuan tahun silam, mengusik hasrat masyarakat Dayak Ngaju untuk "mempercantik" penampilan. Maka baju kulit kayu sederhana itu pun lalu dilengkapi dengan aksesori ikat kepala (salutup hatue untuk kaum lelaki dan sal utup bawi untuk para perempuan), giwang (suwang), kalung, gelang, rajah (tatoo) pada bagian-bagian tubuh tertentu, yang bahannya juga dipungut dari alam sekitar. Biji-bijian, kulit kerang, gigi dan taring binatang dirangkai menjadi kalung, gelang dibikin dari tulang binatang buruan, giwang dari kayu keras, dan berbagai aksesori lainnya yang mendaurulangkan limbah keseharian mereka. Dan kesederhanaan pakaian kulit kayu itu kemudian memancarkan esensi keindahan karena imbuhan warnawarni flora dan fauna yang ditambahkan sebagai pelengkap busana.
Pada perkembangan selanjutnya masyarakat Dayak Ngaju pun mulai membubuhkan warna dan corak hias pada busana mereka. Bahan pewarna itu secara kreatif diolah dari yang tersedia pada alam sekitar mereka. Misalnya saja, warna hitam dari jelaga, warna putih dari tanah putih dicampur air, warna kuning dari kunyit, warna merah dari buah rotan.
Corak hias yang digambarkan pada busana juga diilhami oleh apa yang mereka lihat di alam sekelilingnya. Maka tampillah stilasi bentuk flora dan fauna, bunga, dedaunan, akar pohon, burung, harimau akar, dan sebagainya, menjadi corak hias busana adat. Keyakinan dan alam mitologi juga memberi inspirasi pada penciptaan ragam corak hias busana adat sehingga gambar-gambar itu, selain tampil artistik, pun punya makna simbolik. Pengaruh agama Hindu pada kepercayaan asal masyarakat Ngaju, yang cenderung animistik, misalnya, melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai agama Hindu Kaharingan. Sinkretisme itu melahirkan pelbagai keyakinan dan mitologi dan mengilhami lahirnya corak hias naga, manusia, dan sebagainya, yang bermakna sangat filosofis.
Salah satu mitologi masyarakat Dayak Ngaju yang terkenal adalah tentang penciptaan alam yang melahirkan simbolisasi "pohon hayat" atau "pohon kehidupan" dalam bentuk corak hias yang dikenal dengan nama batang goring. Corak hias ini sangat berarti bagi masyarakat Dayak Ngaju sehingga busana adat untuk upacaraupacara penting - misalnya upacara tiwah, dalam kepercayaan Kaharingan, untuk mengantar ruh manusia yang meninggal dunia ke peristirahatannya, upacara meminta hujan, upacara pengobatan belian obat - kelengkapannya adalah busana dengan corak hias batang garing. Selain itu, diatur pula pemakaian corak hias busana adat - berbeda untuk perempuan dan lelaki - bagi para pemuka kelompok, para tetua adat, panglima perang, kepala suku, dan ahli pengobatan.
Busana Jalinan Serat Alam
Inovasi yang paling signifikan pada rancangan busana masyarakat Dayak adalah penguasaan keterampilan menjalin serat alam. Teknik menenun, konon, diperkenalkan kepada masyarakat Ngaju oleh orang-orang Bugis. Maka kulit kayu yang semula hanya ditempa menjadi lembaran-lembaran "kain", kini diolah dengan teknik yang memerlukan kesabaran dan konsentrasi tinggi. Dari kulit kayu yang telah dihaluskan mereka membuat serat yang dicelup oleh bahan pewarna alam sehingga dihasilkan benang yang tak tunggal warna. Mereka pun lalu menciptakan alat penjalin untuk "merangkai" serat demi serat menjadi bentangan bahan busana untuk baju, celana, ikat kepala, dan kelengkapan lainnya.
Eksplorasi terus dilakukan untuk mencari bahan-bahan lain yang bisa dibuat benang. Mereka kemudian melirik rotan, jenis rumputrumputan, akar tumbuhan, sehingga "kain" yang dihasilkan menjadi beragam. Rancangan dan fungsi busana pun turut berkembang. Pakaian yang dibuat bukan lagi hanya untuk fungsi yang paling mendasar yakni baju dan celana untuk melindungi bagian tubuh yang dianggap paling penting saja, tapi diperluas untuk keperluan lainnya. Umpamanya saja sangkarut perang dari jalinan rotan (sangkarut perang) untuk penahan tusukan anak panah, sumpit, dan tombak.
Orang-orang Cina dan India memperkenalkan manik-manik yang terbuat dari logam, keramik, melengkapi yang sebelumnya telah dibuat masyarakat Ngaju dari biji-bijian, kayu, dan tulang. Selain untuk aksesori, manikmanik itu juga kemudian diaplikasikan menjadi hiasan busana. Maka busana masyarakat Ngaju jadi semakin ornamentik dan semarak warna. Akan tetapi, hiasannya tetap mengekspresikan keakraban mereka dengan alam. Corak hiasnya masih menampilkan alam flora, fauna, dan mitologi. Dan kini pucuk rebung, burung enggang, ular, harimau akar, manusia, awan, batang garing, tampil pula dalam ekspresi yang lain.
Temuan-temuan baru itu kemudian dikembangkan lagi secara kreatif oleh para perancang busana masyarakat Ngaju. Hasilnya adalah tata busana yang memadukan kulit kayu, jalinan serat alam, berhiaskan gambar pewarna alam, dan aplikasi manik-manik dan arguci. Jenis-jenis busana seperti ini sekarang pun masih bisa dibuat untuk berbagai keperluan, umpamanya saja, untuk kostum tarian, koleksi museum, atau cendera mata.
Busana Kain Tenun Halus
Para pedagang Gujarat dari India yang datang ke Nusantara membawa serta kain-kain tenun halus sebagai barang dagangan. Kain-kain tersebut ditenun dari serat kapas atau sutra. Masyarakat Ngaju, terutama yang bermukim di daerah pesisir dan pusat kerajaan, memberikan apresiasi positif terhadap bahan busana yang sebelumnya tidak ada pada khasanah karya tenun mereka itu. Maka diadaptasilah teknik menenun kain halus itu dan kreativitas para penenun masyarakat Ngaju kemudian melahirkan juga kain tenun halus. Betapa tidak, karena ternyata alam Nusatara yang kaya raya juga menyediakan kapas dan sutra.
Busana tradisional masyarakat Ngaju yang beredar sekarang ini hampir seluruhnya dibuat dari kain tenun halus serat kapas atau sutra. Busana pengantin, pakaian acara-acara adat, kostum taritarian, dan sebagainya, kebanyakan dibuat dari kain beludru, satin, atau sutra. Akan tetapi corak hias dan modelnya tidak bergeser jauh dari bentuk asalnya. Pakaian tradisional masyarakat Ngaju yang sekarang dianggap sebagai busana daerah Kalimantan Tengah untuk pelbagai upacara adat adalah pengembangan dari busana tradisonal masa lampau.
Busana kaum perempuan terdiri dari baju kurung ngasuhui berlengan panjang atau pendek, dari kain satin atau beludru, yang pada bagian bawahnya diberi corak hias stilasi bentuk flora atau fauna. Paduannya rok panjang sebatas betis, disebut salui, dari kain yang sama yang juga diberi corak hias berupa penggayaan bentuk flora atau fauna. Rambut yang disanggul bentuk sanggul lipat atau dibiarkan terurai dihias ikat kepala, lawung bawi, dari kain yang sewarna dengan baju dengan sehelai bulu burung haruei yang diselipkan pada ikat kepala bagian belakang. Dan aksesori yang dikenakannya adalah kalung manik-manik, dan anting-anting atau suwang.
Baju kaum lelaki disebut baju palembangan, model baju pria Melayu tapi berkerah, juga dari beludru atau satin. Pada kerah, ujung lengan baju, dan bagian dada, diberi hiasan. Celananya disebut selawar gobeh, celana panjang "komprang" (tidak ketat) dari kain yang sama dengan bajunya. Sedangkan penutup kepala dibuat dari kain yang dibentuk seperti peci atau kopiah yang disebut lawung siam.
Penulis Aat Soeratin
AGAMA BUDDHA DAN DAYAK
Melihat perkembangan yang begitu pesat tokoh masyarakat Dayak yang telah menyatakan berlindung pada Triratna beserta tokoh-tokoh dari Pontianak menyatakan cita-citanya untuk mempunyai tempat ibadah, sehingga dapat melaksanakan ritual-ritual Buddhis bersama seperti agama-agama lainnya. Namun, saat itu kesulitan mendapatkan tempat/lahan untuk membangun sebuah vihara disertai kurangnya dana, maka cita-cita tersebut belum dapat direalisasi. Pada tahun 1992, seorang umat Buddha merelakan rumah yang dimilikinya untuk ditempati sementara dan dialihfungsikan sebagai vihara sementara. Dengan adanya vihara di Pontianak, pada saat itu semakin meningkatkan laju perkembangan Buddha Dhamma di Pedalaman Kalimantan Barat. Pembinaan pun dirasakan sangat baik, pada saat itu ditambah lagi dengan datang tokoh Buddhis dari Jakarta yakni Romo Purna Candra dan Romo Karuna Atmaja. Cita-cita yang tadinya pernah padam hidup kembali, namun cita-cita tersebut kembali buyar oleh karena sulitnya mendapatkan lahan yang tepat untuk pembangunan Vihara.
Pada tahun 1994, pembangunan baru dapat dilaksanakan setelah mendapatkan lahan seluas 300 m2 yang berasal dari hak hibah. Pada tahun 1994 diadakan Visudhi Upasaka/Upasika oleh tiga orang Romo, yakni Romo Karuna Atamaja, Romo Purna Candra dan Romo Sasana dari Jakarta yang mevisudhi Upaska/Upasika sebanyak 200 orang, dilaksanakan sesuai tradisi Tantra (Kasogatan). Dengan berakhirnya upacara Visudhi, mulai saat inilah pembinaan dirasakan semakin kurang dan umat disana harus berdiri di kakinya sendiri. Dengan pemahaman yang masih dangkal, yang hanya diperoleh melalui diklat-diklat selama semingggu di Kotamadya Pontianak akhirnya perkembangan Buddhisme menjadi terseok-seok. Sehingga pada tahun 1996-2002 Umat Buddha di pedalaman Kalimantan Barat, setengah dari jumlah yang ada pada saat itu berpindah ke agama lain, karena mereka memiliki pemahaman yang kabur tentang agama Buddha dan juga dikarenakan teror-teror yang dilakukan oleh oknum-oknum umat agama lain yang tidak bertanggung jawab.
Ajaran-ajaran Buddha dapat diterima ditengah masyarakat Dayak, karena kedekatan ajarannya dengan budaya Dayak, yaitu kesamaan dalam tradisi untuk tidak menghilangkan kehidupan makhluk sekecil apapun yang dikenal dengan nama “Balala”. Balala dilakukan saat musim membuka ladang akan tiba. Dalam kepercayaan adat Dayak juga dikenal adanya alam-alam lain diluar alam manusia dan kepercayaan adanya kelahiran kembali setelah kematian. lstilah Tuhan dalam kepercayaan Dayak dikenal dengan nama Pamma Jubatta. Jubatta tidak menciptakan manusia. Jubatta hadir hanya mengatur dan menguasai seluruh alam dan merupakan sosok yang sempurna. Namun tidak dapat dikatakan sebagai penyebab terjadi segala sesuatu yang terjadi di dunia. Manusia dalam kepercayaan Dayak diciptakan oleh makhluk diluar dunia yang ada saat ini. Terbentuknya manusia berada di suatu tempat yaitu Panara Subayatn (Surga) yang di lakukan oleh DA'NEK NANGE. Apabila mencermati kata DA'NEK NANGE, NEK NANGE bukanlah merupakan suatu pribadi, tetapi suatu kumpulan makhluk-makhluk yang bekerja sama dalam pembentukan manusia. Jadi penciptaan manusia bukanlah oleh suatu pribadi, tetapi lebih dekat dengan hukum-hukum alam yang digambarkan melalui orang-orang atau makhluk-makhluk Adi Kodrati. Disinilah titik ketertarikan orang-orang suku Dayak untuk memeluk agama Buddha.
ARUH ADAT MASYARAKAT DAYAK
Pesta Adat Aruh Baharin adalah salah satu tradisi masyarakat suku Dayak di desa Kapul dan desa Tabuan, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas suksesnya panen semua tanaman yang telah ditanam selama ini. Aruh Baharin berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dalam satu balai, rumah adat, atau tempat khusus yang dibuat untuk acara tersebut. Untuk kegiatan syukuran ini masyarakat melaksanakan pesta besar dengan memotong kambing atau kerbau yang kemudian dilanjutkan dengan berbagai kegiatan ritual seperti melakukan batandik, bamamang dan bakapur sambil diiringi dengan tabuhan gendang
DESA BUDAYA PAMPANG KALIMANTAN TIMUR
Kawasan ini adalah Suku dayak dan Taman Budaya yang memperlihatkan kebudayaan dan kesenian Suku Dayak Asli seperti atraksi keseniaan, kerajinan dan lain-lain. Desa Pampang berdiri sekitar tahun 1973, dari perpindahan penduduk Desa Long Liis, Apokayan, Kabupaten Bulungan yaitu Jawi Ngau, Petingai, Taman Bulan, Taman Juli, Taman Ana, Palejo, Bit Imang.
Masing-masing membawa lima orang anggota, sehingga keseluruhan berjumlah 35 orang dari daerah asalnya mereka berjalan kaki menyusuri daerah Mahakam, kemudian singgah pada suatu daerah untuk bertani dan berpindah lagi hingga mencapai Desa pampang yang selanjutnya mereka anggap cocok untuk tempat bertani.
Setiap hari minggu dikawasan ini diadakan pertunjukan atau atraksi kesenian yaitu :
- Kancet Lasan
- Kancet Punan Lettu
- Kancet Nyelama Sakai
- Dance Hudog
- Dance Manyam Tali
- Dance Pamung Tawai
- Dance Burung Enggang
- Dance Leleng
Kalimantan Tengah
Suku Dayak terbagi atas beberapa sub etnis yang masing-masing memiliki satu kesatuan bahasa, adat istiadat dan budaya. Sub-sub etnis tersebut antara lain Suku Dayak Ngaju (termasuk Bakumpai dan Mendawai), Ot Danum, Ma'anyan, Lawangan, Siang dan lain-lain.
Sifat gotong royong dalam masyarakat suku Dayak masih tetap terpelihara terutama dalam gerak hidup bermasyarakat yang tercermin dari tradisi kerja Habaring Hurung, Handep dan Harubuh.
Berbagai ragam dan jenis kesenian tradisional yang masih terpelihara dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah antara lain : Seni Tari, Seni Suara, Seni Rupa, Seni Ukir, dan Seni Anyam-anyaman. Seni Suara berupa lagu -lagu Daerah dikenal dengan istilah : Karungut, Kandan, Parung, Karinci Seni anyaman yang memiliki beragam corak terus dikembang oleh masyarakat sebagai kerajinan rakyat.
Disamping berbagai kerajinan Kalimantan Tengah juga kaya akan berbagai kegiatan upacara adat / ritual seperti Tiwah, Manyanggar, Mamapas Lewu (bersih desa), Mampakanan Sahur Parapah.Tiwah merupakan upacara ritual agama Kaharingan, yaitu mengantarkan arwah orang yang telah meninggal ke Lewu Tatau (sorga). Acara ini memakan waktu yang cukup lama sekitar satu bulan atau lebih.
Gambar: Huma betang (rumah panjang)
Gambar: Pakaian adat tradisional putri Dayak